Blogger Widgets

Senin, 21 November 2011

Tuhan, Manusia, dan Eskatologi

A. Tuhan Sebagai Personal atau Impersonal
Tuhan adalah hal paling penting dalam ajaran setiap agama dan masalah paling pokok dalam filsafat. Setiap agama tidak dapat disebut sebaga ‘agama’ apabila ia tidak memiliki Tuhan untuk disembah. Begitu juga dengan filsafat, yang dimana hal ini merupakan permasalahan terbesar di dalamnya.
Sebagian filsuf Yunani banyak yang meributkan konsep-konsep alam sehingga tanpa mereka sadari merujuk pada konsep Tuhan juga. Sedangkan Plato dan Aristoteles, telah mengemukakan pendapat yang sudah sampai memikirkan sesuatu realitas di luar alam. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan telah tergambar dengan baik sehingga menjadi akar pemikiran filsuf-filsuf selanjutnya. Dari Plato sendiri menamakannya dengan Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak. Walaupun para filsuf telah mampu mengetahui realitas tertinggi dari semua wujud, realitas itu belum sampai kepada konsep utuh yang diinginkan oleh agama karena Tuhan dalam filsafat masih bersifat impersonal, bukan Tuhan sebagai personal.
Pada prinsipnya, Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal dapat dibedakan dalam berbagai segi, yaitu :
1. Tuhan personal menekankan pada identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud pengabdian makhluk kepada penciptanya. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak disembah dan dipuja.
2. Tuhan personal berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuhan impersonal berasal dari kesimpulan pemikiran manusia. Karena itu, Tuhan dalam agama adalah Zat Pencipta dan sekaligus Pemelihara alam. Sedangkan dalam filsafat, Tuhan hanya sebagai Sebab Awal dan tujuan segala wujud.
3. Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makhluk. Perbedaan itu terletak pada sifat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Adil. Karena perbedaan yang begitu besar, makhluk, terutama manusia mempunyai kewajiban untuk mengadakan hubungan baik dengan Tuhan agar sifat-sifat yang begitu baik bisa tersalurkan dalam diri mereka. Hubungan itu dilakukan dengan memperbanyak ibadah dan ritual-ritual keagamaan. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan hubungan baik dengan Tuhan itu sebab Tuhan adalah hasil ide manusia saja atau sebuah Zat yang dimensinya terputus oleh dimensi makhlukNya.
4. Tuhan personal menonjolkan perbedaan antara makhluk dengan Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan dalam Tuhan yang impersonal berusaha atau tidak memperdulikan perbedaan tersebut dengan menganggap manusia sebagai bagian dari diriNya, bahkan dalam panteisme misalnya, perbedaan antara Tuhan dan makhluk hilang sama sekali.
Pada kenyataannya agama memang bukan filsafat, tetapi menurut Gilson, ajaran agama mengajukan prinsip-prinsip yang kaya akan prinsip-prinsip filsafat. Karena itu, ia dapat membantu perncarian akal terhadap Tuhan. Arogansi akal untuk dapat secara mandiri menemukan Tuhan tanpa sinaran wahyu, adalah sesuatu yang naïf. Dan hal itu telah terbukti dalam pencarian para filsuf Yunani, bahkan ketika Descartes berusaha memisahkan filsafat dari agama.
Terhadap juga gugatan yang sering dimunculkan para saintis, Gilson menilai pernyataan semacam itu muncul karena ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa agama dan filsafat (juga sains) adalah dua lanskap yang seharusnya dapat bertemu. Karena sains menjawab pertanyaan tentang bagaimana, sedangkan agama menjawab tentang mengapa. Hanya saja tidak banyak orang yang berani mengakuinya. Para sains atau filsuf kontemporer yang terpikat oleh daya pesona rasio telah kehilangan selera terhadap metafisika dan agama. Sementara yang lain, karena terlalu khusuk dalam berkontemplasi menyadari bahwa metafisika dan agama seharusnya dapat dipertemukan tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana. Karena itu ada yang kemudian memisahkan agama dari filsafat, atau meninggalkan agama demi fisafat atau sebaliknya. Padahal hal tersebut, dalam pandangan Gilnson tidak perlu terjadi. Dan menurutnya orang yang dapat melakukan hal itu adalah mereka yang dapat menyatukan bahwa Tuhan filosof adalah Tuhan yang juga dipeluk oleh Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.



B. Kekuasaan Mutlak Tuhan dengan Kebebasan Manusia.
Terdapat dua konsep ekstrem yang menyatakan hubungan Tuhan dan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat, yang dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut predestination (fatalisme). Lalu konsep kedua yang mengatakan bahwa perbuatan manusia kebebasannya sendiri, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat/daya kebebasan itu pada manusia. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut dengan free will.
Baik dalam paham predestination ataupun free will, hampir terdapat di semua agama dan memunculkan persoalan yang selalu dibahas oleh para teolog dan filsuf. Berbagai cara dicari untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun belum ada hasil yang benar-benar memuaskan semua pihak. Dalam teologi Islam terdapat beberapa golongan yang membahas persoalan tersebut seperti Mu’tazilah, Asya’ariah, dan Maturidiah.
Golongan Mu’tazilah pada dasarnya lebih dekat pada paham Qadariah. Al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah, berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan. Pendapat yang sama juga dikemukakan ‘Abd jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah ciptaan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan dihasilkan dari daya yang bersifat baru, yang sebenarnya bukan perbuatan tuhan. Sehingga Manusia adalah makhluk yang bebas untuk memilih.
Berbeda dengan golongan Mu’tazilah, golongan Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, hanya saja manusia memiliki kemampuan yang disebut kasb (perolehan). Kasb adalah sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan bagi seseorang yang dengan daya itu perbuatannya timbul. Kasb itu sendiri adalah ciptaan Tuhan, sehingga menghilangkan arti keaktifan itu sendiri.
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran Maturidiah terpisah menjadi dua aliran, yaitu Maturidiyah Samarqand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terdapat kekuasaan mutlak Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarqand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada larangan bagi Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya tidak ada suatu dzat pun yang lebih berkuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya tampaknya aliran Maturidiyah Samarqand lebih dekat dengan Asy`ariyah Al-Bazdaqi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan cosmos. Tuhan berbuat sekedendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain. Konsep lain keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

C. Hidup Sesudah Mati
Keadaan sesudah mati adalah misteri di atas misteri karena kematian adalah faktayang setiap manusia akan mengalaminya dan tidak dapat mengetahui (bagi subyek yang berusaha memisahkan diri dari obyek sehingga belum pernah mengalaminya) apa yang terjadi setelahnya.
Misteri mati ini pulalah yang menyibukkan para pemikir mengungkapkan beberapa teori tentang kematian dan implikasinya. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis mengatakan bahwa yang paling ditakuti oleh manusia adalah kematian. Karena kematian itu tidak dapat ditolak, dia mencari perlindungan kepada hal yang bersifat supernatural, yaitu Tuhan. Tuhan adalah imajinasi dia sendiri yang seakan-akan dapat membantu menyelesaikan misteri yang paling ditakutinya. Jadi, menurut Freud manusia yang percaya kepada Tuhan adalah manusia yang lemah dan butuh perlindungan kepada zat yang lebih besar.
Sattre, seorang tokoh eksistensialis yang sangat menegaskan kebebasan manusia, akhirnya dia mengakui bahwa manusia tidak bebas lagi ketika menghadapi kematian. Bagi Settre, maut adalah sesuatu yang absurd karena kenyataan bahwa maut tidak bisa ditunggu, melainkan hanya bisa diharapkan akan datang. Tetapi, kapan datangnya maut tidak ada yang dapat memastikannya. Kita tidak memiliki pilihan lain lagi, maut adalah kepastian, yaitu nistanya kita sebagai eksistensi. Dengan kematian, eksistensi berakhir dan kita kembali ke esensi, kata Sattre.
Agama tanpa ada doktrin hidup sesudah mati bagaikan bergantung tali, karena kepercayaan kepada akhirat itu merupakan pegangan dan sekaligus faktor yang mendorong pemeluk agama taat beribadat, berakhlak mulia, dan menjalankan semua perintah Tuhan. Kalau memang kita berbuat baik hanya mengharapkan hasilnya di dunia, seseorang tidak perlu mempercayai adanya akhirat. Akan tetapi setiap manusia sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil di dunia sehingga keadaan yang demikian mendorong manusia untuk mencari keadilan ‘sempurna’, sesuatu yang hanya bisa didapatkan di dunia yang ‘sempurna’ juga’.
Dalam filsafat Islam perbincangan tentang eskatologi menjadi sebuah bidang tersendiri sebagai refleksi pengungkapan dimensi-dimensi metafisis dan ketuhanan yang berlandaskan pada ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’ān. Walaupun demikian pembahasan tentang eskatologi ini mengundang perdebatan yang sangat krusial di antara para pemikir Islam, filsuf, dan lain sebagainya. Seperti Imam al-Ghazali yang cenderung mengkafirkan para filsuf yang diwakili oleh al-Farabi dan Ibn Sina karena tiga sebab yang salah satunya adalah persoalan eskatologis.
Salah satu contoh filsuf islam, Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan jasad, tetapi jiwa itu bersifat kekal. Ia juga berpendapat bahwa sesuatu yang dirusak dikarenakan oleh faktor lain maka sudah sepatutnya juga ia bergantung padanya. Namun, jiwa terpisah wujudnya dari jasad karena tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh, sedangkan jiwa telah ditetapkan sebagai esensi yang berdiri sendiri. Jiwa juga tidak mendahului jasad karena kalau kiwa mendahuluinya terkesan jasad yang menyebabkan jiwa, dan jiwa seakan-akan ada untuk mengabdi pada jasad. Jadi, dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan kausalitas. Hubungan jasad dengan jiwa menurut Ibn Sina bukan hubungan korelatif atau keharusan, melainkan hubungan tuan dengan hambanya atau antara pemilik dengan miliknya. Pemilik tidak akan terpengaruh walaupun miliknya berubah. Jiwa adalah yang memerintah dan jasad yang diperintah, bukan kebalikannya.

Sekilas tentang Filsafat Yunani Klasik

SOKRATES

Sejarah Sokrates merupakan suatu masalah bagi para ahli sejarah filsafat karena Sokrates sendiri tidak menuliskan apa-apa, jadi, untuk menentukan pemikirannya, kita tidak dapat mempergunakan buah pena Sokrates sendiri. Itulah sebabnya kita harus mencari sumber-sumber lain yang memberi kesaksian tentang kepribadian dan ajaran Sokrates. Sumber-sumber ini didapatkan dari Aristophanes, Xenophon, Plato, dan Aristoteles, walaupun sumber-sumber ini tidak menggambarkan Sokrates dan kearifannya dalam bidang filsafat dengan cara yang sama.
Sokrates lahir pada tahun 470 SM atau sekitarnya, ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 SM, dan untuk itu kita tahu bahwa Sokrates hidup sekitar 70 tahun lamanya. Konon ayahnya, Sophroniskos, adalah seorang pemahat, tetapi berita itu agaknya tidak memiliki dasar historis. Ibunya, Phainarete, adalah seorang bidan. Ada kesaksian pula bahwa Sokrates adalah murid Arkhaelos, filsuf yang mengganti Anaxagoras di Athena. Ia juga membaca buku Anaxagoras karena tertarik oleh ajarannya mengenai nus. Tetapi ia sangat kecewa tentang isi ajaran itu. Pada usia masih muda ia berbalik dari filsafat alam dan mulai mencari jalannya sendiri.
Karena Sokrates masuk tentara Athena sebagai hopilites, dapat disimpulkan bahwa mula-mula ia tidak berkekurangan, sebab di Athena hanya pemilik-pemilik tanah yang diizinkan dalam pasukan tersebut. Tetapi lama-kelamaan ia menjadi miskin, karena ia hanya mengutamakan keaktifannya sebagai filsuf. Pada usia lebih lanjut, ia menikah dengan Xantippe. Socrates sering dimarahinya karena gaya hidup yang teramat sederhana dan terkesan tidak memperhatikan keluarganya. Sokrates memiliki tiga orang anak laki-laki dari perkawinannya itu dan dua anak masih dalam usia muda saat ia meninggal dunia.
Pada usia 70 tahun ia diajukan ke sidang karena dianggap membahayakan penduduk Athena. Ia dituduh tidak percaya pada Tuhan-Tuhan yang diakui oleh polis dan mengintrodusir praktek-praktek religius baru, ia juga bersalah karena ia mempunyai pengaruh yang kurang baik atau kaum muda. Dan akhirnya Socrates meninggal karena ia dihukum mati dengan meminum secawan racun, demi mempertahankan pendiriannya yang tidak ingin meninggalkan Athena seperti yang dilakukan kaum sofis.
Ajaran-ajaran Socrates sebenarnya merupakan kritik terhadap kaum sofis, dimana mereka mengajarkan kebijakan pada banyak orang baik didalam Athena maupun di luar kota Athena, namun dengan memungut bayaran. Biasanya yang kaum Sofis ajarkan ialah retorika dan kebanyakan dari mereka orangnya bersifat angkuh karena mereka merasa telah menjadi orang yang paling bijaksana dan kaum sofis mengatakan kebenaran berlaku relatif/subjektif.
Sokrates membantah itu semua, ia mengatakan pasti ada kebenaran yang sifatnya obyektif, dan ia lebih memusatkan perhatian pada tingkah laku manusia, bahkan ada seorang yang mengatakan Socrates telah membawa filsafat dari langit turun ke bumi, ini didasarkan atas ajarannya yang menjadikan filsafat memperhatikan manusia bukan alam semesta.
Cara yang dilakukannya adalah dengan metode dialektika yaitu melakukan dialog dengan siapa saja yang ditemuinya dan Sokrates bertanya tentang segala hal yang menyangkut kehidupan manusia bahkan pertanyaannya terkadang mudah namun sulit untuk dijawab oleh beberapa orang, terkadang ia mengungkapkan pertanyaan dengan humor yang terkesan tidak serius.
Sokrates sebenarnya ingin memperkenalkan metodenya ini dengan nama maieutike tekhne atau dapat diartikan sebagai seni kebidanan. Yang dimaksud Socrates disini adalah membidani jiwa, karena ia percaya bahwa setiap orang telah mempunyai pengetahuan semu yang didapat dari ilham yang disampaikan oleh roh atau pertanda ilahi (daimonion semeion), namun biasanya manusia tidak menyadarinya, dan tugasnyalah untuk menyedarkan mereka akan pengetahuan semua itu sehingga yang tadinya pengetahuan bersifat semu itu menjadi pengetahuan yang nyata dan disadari.


PLATO

Plato lahir pada tahun sekitar 428/7 SM dalam suatu keluarga terkemuka di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Sesudah Ariston meninggal, Periktione dinikahi pamannya yang bernama Pyrilampes. Plato banyak terpengaruh oleh kehadiran Pyrilampes ini, seorang politikus yang termasuk kalangan Perikles. Menurut kesaksian Aristoteles, Plato juga dipengaruhi oleh Kratylos, seorang filsuf yang meneruskan ajaran Herakleitos. Kratylos berpendapat bahwa dunia kita berada dalam perubahan terus-menerus, sehingga pengenalan tidak mungkin karena suatu nama pun tidak dapat diberikan kepada benda-benda.
Dari pergaulan dengan para politikus, Plato akhirnya meciptakan sebuah pemikiran bahwa pemimpin suatu negara haruslah seorang filsuf. Hal ini dilontarkan karena kekecewaannnya atas kepemimpinan para politikus yang ada pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan kematian gurunya, yaitu Sokrates, yang di persidangan berakhir pada kematian.
Pada perkembangan selanjutnya Plato mendirikan Akademia sebagai pusat penyelidikan ilmiah dan disekolah ini ia berusaha merealisasikan cita-citanya, yaitu menjadikan filsuf-filsuf yang siap menjadi pemimpin negara. Akademia inilah awal dari munculnya universitas-universitas saat ini karena lebih menekankan pada kajian ilmiah yang bukan sekedar retorika. Ia terus mengepalai dan mengajar di akademia ini hingga akhir hayatnya yaitu pada tahun 348/7 SM.
Dalam menghasilkan karya-karya fisafatnya, Plato menggunakan metode dialektika karena ia percaya filsafat akan lebih baik dan teruji jika dilakukan melalui dialektika dan banyak dari karya-karyanya disampaikan secara lisan di akademia-nya. Disatu sisi ia masih mempercayai beberapa mitos yang digunakan olehnya untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal adiduniawi. Dan tentunya ia banyak dipengaruhi oleh gurunya, Sokrates, dalam pemikirannya.

Idea merupakan inti dasar dari seluruh filsafat yang diajarkan oleh Plato. Ia beranggapan bahwa idea merupakan suatu yang objektif, adanya idea terlepas dari subjek yang berpikir. Idea tidak diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi sebaliknya pemikiran itu tergantung dari idea-idea. Dalam menerangkan idea ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya adalah dunia idea, dan dunia idea ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan tentunya serba sempurna.
Plato menganggap bahwa jiwa merupakan pusat atau inti sari kepribadian manusia, dan pandangannya ini dipengaruhi oleh Sokrates, Orfisme, dan mazhab Pythagorean. Salah satu argumen yang penting ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea, dengan itu ia menuruti prinsip-prinsip yang mempunyai peranan besar dalam filsafat. Jiwa memang mengenal idea-idea, maka atas dasar prinsip tadi disimpulkan bahwa jiwa pun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan idea-idea, jadi sifatnya abadi dan tidak berubah.
Plato mengatakan bahwa dengan kita mengenal sesuatu benda atau apa yang ada di dunia ini, sebenarnya hanyalah proses pengingatan sebab menurutnya setiap manusia sudah mempunyai pengetahuan yang dibawanya pada waktu ia berada di dunia idea. Ketika manusia masuk ke dalam dunia realitas jasmani, pengetahuan yang sudah ada itu hanya tinggal diingatkan saja. Maka Plato menganggap juga bahwa fungsi seorang guru adalah mengingatkan muridnya tentang pengetahuan yang sebetulnya sudah lama mereka miliki.
Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengaatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani kuno, yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/ adat kebiasaan saja dan bukan physis/ kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara.


ARISTOTELES

Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi Amyntas II, raja Makedonia. Pada umur tujuh belas tahun, Aristoteles dikirim ke Athena agar ia dapat belajar di Akademi Plato. Dia menetap di sana selama dua puluh tahun hingga tak lama kemudian Plato meninggal dunia. Dari ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan “pengetahuan praktis”. Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis.
Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru anak raja Philippos yang berumur tiga belas tahun dan kemudian dalam sejarah terkenal dengan nama Alexander Yang Agung. Aristoteles mendidik Alexander muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles kembali ke Athena dan di situ dibuka sekolahnya sendiri yang dinamakan Lyceum, dinamakan begitu karena tempatnya dekat dengan halaman yang dipersembahkan kepada dewa Apollo Lykeios. Dengan semangat yang besar sekali, para anggota Lyceum memperlajari semua ilmu yang dikenal pada waktu itu. Aristoteles membentuk suatu perpustakaan yang memgumpulkan macam-macam manuskrip dan peta bumi. Menurut kesaksian Strabo, seorang sejarawan Yunani-Romawi, itulah perpustakaan pertama dalam sejarah manusia. Mungkin Aristoteles membuka juga semacam museum yang mengumpulkan semua benda yang menarik perhatian, terutama dalam bidang zoologi dan biologi. Diceritakan juga bahwa Alexander memberi suatu sumbangan besar untuk membentuk koleksi itu dan memerintahkan semua pemburu, penangkap unggas, dan nelayan dalam kerajaannya, supaya mereka melaporkan kepada Aristoteles mengenai semua hasil yang menarik dari sudut ilmiah.
Perkawinan pertama Aristoteles dengan Pythias ini membuahkan seorang anak perempuan. Aristoteles menikah lagi dengan Herpyllis yang melahirkan anak laki-laki bernama Nikomakhos. Suatu kejadian yang sangat menggelisahkan bagi Lyceum adalah kematian Alexander Agung pada tahun 323 SM. Hal ini mengakibatkan suatu gerakan anti-Macedonia dengan maksud melepaskan Athena dari kerjaan Macedonia. Aristoteles dituduh karena kedurhakaan (asebeia). Ia meletakkan pimpinan Lyceum kepada muridnya, Theophrastos, dan melarikan diri ke Khalis, tempat asal ibunya. Menurut tradisi kuno, Aristoteles melarikan diri dengan mengatakan “Ia tidak akan membiarkan Athena berdosa terhadap filsafat untuk kedua kalinya” (dengan alusi kepada nasib Sokrates). Tetapi pada tahun berikutnya ia jatuh sakit dan meninggal di tempat pembuangan itu pada usia 62/63 tahun. Kita masih memiliki teks wasiat Aristoteles yang disimpat oleh Diogenes Laertios.
Tercatat bahwa 47 karya Aristoteles masih tetap bertahan. Daftar kuno mencatat tidak kurang dari seratus tujuh puluh buku berhasil diciptakannya. Bahkan bukan sekedar banyaknya jumlah judul buku saja yang mengagumkan, melainkan luas daya jangkauan peradaban yang menjadi bahan renungannya juga tak kurang hebatnya. Aristoteles menulis tentang astronomi, zoologi, embryologi, geografi, geologi, fisika, anatomi, psikologi, dan hampir tiap karyanya dikenal di masa Yunani purba.
Mungkin sekali yang paling penting dari sekian banyak hasil karyanya adalah penyelidikannya tentang teori logika, dan Aristoteles dipandang selaku pendiri cabang filsafat yang penting ini. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).
Berlawanan dengan Plato yang menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Pemikiran lainnya adalah tentang gerak dimana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian bahasa Yunani sekarang dianggap memiliki arti Tuhan.
Di bidang politik, Aristoteles sudah mulai membedakan sejara jelas ajaran Plato tentang negara dan etika individual karena dalam dialog Politeia misalnya, hal ini membicarakan kesua-duanya.Dalam suatu karyanya sendiri yang bernama Politica, ia menghidangkan pikirannya tentang negara atau politik. Namun demikian, pada Aristoteles juga ada hubungan erat antara politik dan etika, sehingga pada akhir uraiannya dalam Ethica Nicomachea sudah menunjuk kepada karyanya mengenai politik.

Sekilas tentang Filsafat Jaman Modern

Ajaran terpenting dari filsafat modern adalah rasionalisme dari Rene Descartes, empirisme dari David Hume, dan Rasionalisme kritis/Filsafat transendental yang menggabungkan rasionalisme dan empirisme dari Immanuel Kant

RASIONALISME

Rasionalisme adalah teori/paham yg menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan problem kebenaran yang lepas dari jangkauan indra dan lebih mengutamakan kemampuan akal daripada emosi, atau batin. Perkembangan pengetahuan mengenai rasionalisme ini mulai berkembang pesat pada abad ke-17.
Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Dengan cogito ergo sum-nya Descartes mengandaikan bahwa pikiran atau kesadaran akan melukiskan kenyataan diluar pikiran kita, dengan kata lain keadaan diluar pikiran atau kenyataan yang kita temui diluar pikiran adalah bersumber dari pikiran atau kesadaran diri kita. Dengan cara menyadari kesadaran diri kita sendiri maka kita akan mengenal dunia diluar diri kita. Descartes hanya berpijak kepada salah satu alat yaitu rasio, sementara alat yang lainnya seperti indra diabaikan. Descartes beranggapan bahwa hanya dengan rasio atau kesadaran (cogito) maka kita akan mengenali diri dan pikiran kita, sementara kenyataannya kita masih melihat adanya ada lain di alam kenyataan.
Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau (1712-1778), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan J.B. Basedow (1723-1790). John Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan pandangannya tentang tabula rasa dalam arti bahwa setiap insan diciptakan sama, sebagai kertas kosong. Dengan demikian, melatih atau memberikan pendidikan atau pandai menalar merupakan tugas utama pendidikan formal. J.J. Rousseau adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima pendidikan. J.J Rousseau meyakini kebenaran bahwa manusia terlahir dengan hak-hak yang secara kodrati melekat dalam dirinya. J.B. Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk kebijaksanaan, kesusilaan, dan kebahagiaan.

EMPIRISME

Empirisme adalah aliran ilmu pengetahuan dan filsafat yang berdasarkan metode empiris, yaitu bahwa semua pengetahuan didapat dengan pengalaman. Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, dan dijadikan sebagai sumber pengetahuan karena pengalamanlah yang memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui pengalaman, dengan demikian kebenaran yang diperoleh bersifat aposteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience).
Filsuf empirisme David Hume (1711-1776), melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara ide sebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan. Dengan kata lain, karena ide merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantung kepada aktivitas inderanya. Hume seperti layaknya filsuf Empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”.
Tokoh-tokoh empirisme lainnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), dan Thomas Hobbes (1588-1679). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen. Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik, karena merupakan bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang berarti bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain.

RASIONALISME KRITIS

Filsafat Kant (1724-1804) dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776). Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas.
Filsafat transendental Kant bukan bertujuan untuk mengetahui objek pengalaman, melainkan bagaimana subjek (manusia) bisa mengalami dan mengetahui sesuatu. Filsafat transendental itu tidak memusatkan diri dengan urusan mengetahui dan mengumpulkan realitas kongkrit seperti misalnya pengetahuan tentang anatomi tubuh binatang, geografis, dll, melainkan bertujuan untuk mengetahui hukum-hukum yang mengatur pengalaman dan pemikiran manusia tentang anatomi tubuh binatang, dll. Hukum-hukum itu oleh Kant disebut hukum apriori (hukum yang dikonstruksi akal budi manusia) dan bukan aposteriori (hukum yang berdasarkan pengetahuan inderawi).
Tujuan utama dari filsafat Kant adalah untuk menunjukkan bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan rasionalisme karena bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.

I and Thou, Martin Buber

Pemikiran Martin Buber bercerita mengenai relasi manusia-manusia, manusia-alam, manusia-soul (Tuhan, dsb) yang merupakan sumber kebahagiaan. Saya menyebut kebahagiaan, bukan eksistensi, hanya karena kata eksistensi keliahatannya agak rumit bagi orang non-filsafat. Ini buku bagus yang bisa dijadikan dasar untuk orang yang ingin berpikir luas dan mencari kebahagiaan yang sesungguhnya.



I AND THOU

Dalam bukunya, Martin Buber mengambil contoh tree sebagai sesuatu yang hidup dan mudah untuk direlasikan. Tree yang dimaksud ini sendiri memiliki kualitas yang baik sebagai pohon, yang berarti baik I maupun Tree tersebut dapat sama-sama bersedia menjalin relasi untuk mengeksiskan diri. Dalam Tree sebagai Thou, batasan-batasan yang menjadi penghalang diantara mereka sudah tidak ada lagi, relasi diantara mereka adalah eksistensi mereka, dimana I dan tree merupakan kesatuan jika dilihat dari eksistensi mereka tersebut. Tanpa adanya relasi tersebut tree itu hanya akan menjadi it, yang dimana ia tidak berarti bagi eksistensi sang subjek, hal tersebut dapat menjadi sebuah kerugian bagi subjek itu sendiri, karena dengan banyak membuat it sebagai thou, ia akan membuat dirinya sendiri lebih eksis, yang juga berarti lebih bahagia. Tree merupakan contoh penghubung yang bagus untuk menggambarkan thou, ia adalah makhluk hidup yang efek timbal baliknya paling tidak secara langsung dibanding makhluk hidup lainnya, ia mudah dinikmati karena tubuhnya besar dan kokoh, tak acuh jika disiksa, dan tak pernah menyiksa apapun dengan sengaja, intinya, mudah serta menyenangkan untuk membangun relasi dengan mereka.
Dalam relasi it sebagai thou ini tidak seharusnya ada bagian dalam thou yang dibenci oleh subjek. Baik kenangan (yang masih dikenang) mengenai thou tersebut, bagian tubuhnya, pengetahuan tentangnya, dsb. Mungkin jika diumpamakan secara ekstrem, bila ada seorang manusia yang sangat kita cintai tapi ia memiliki tumor yang dapat menghancurkan hidupnya, maka tumor tersebut bukan merupakan kesatuan dari thou atau dirinya. Yang dimaksud disini bukan menyatakan thou sebagai bagian, melainkan ada beberapa bagian-bagian yang tidak bisa dianggap kesatuan dari thou tersebut. Kita tidak bisa membangun relasi it sebagai thou jika kita masih membenci sesuatu yang merupakan kesatuannya, misalnya membenci mata sipitnya, atau sifat PDnya. Membangun relasi I-thou dengan manusia jauh lebih sulit dan beresiko dibanding menjalin relasi tersebut dengan pohon. Hanya saja karena memang lebih sulit, hasilnya juga akan lebih memuaskan, hal ini terjadi karena manusia memiliki timbal balik yang lebih nyata, lebih baik, dan lebih membahagiakan dibanding pohon.
Relasi I-thou dengan alam bukan merupakan hasil imajinasi atau hasil dari perasaan kita saat itu. Bukan karena kita sedang bahagia lalu kita dapat menikmati bagian dari alam tersebut, atau juga bukan karena kita membayangkan mereka bicara atau bermain dengan kita. Relasi tersebut bagai sebuah hubungan materi serta rohani yang pada intinya dapat memberi ketenangan jiwa. Bayangkan betapa melegakannya jika di dalam hati kita bertumpuk segala macam emosi buruk lalu kita menghilangkannya karena ada orang yang sangat kita sayangi, bukan dengan marah kepada mereka melainkan dengan membuka diri kita apa adanya di hadapan mereka. Yang ditekankan disini bukan membuka diri dengan ‘curhat’ secara lisan, melainkan secara sadar. Kita tidak bisa membangun relasi I-thou dengan makhluk-makhluk mati karena mereka tidak sadar akan adanya kita. Dengan demikian, semakin besar kesadaran yang dapat menenangkan jiwa bagi I maupun thou atau mungkin masih setingkat dengan It yang memiliki potensi untuk menjadi thou, semakin besar adanya relasi itu.
Tree yang dimaksud bukan jiwa yang ada di dalam pohon itu ataupun makhluk-makhluk gaib yang ada di dalam / merupakan pohon itu, tetapi ia adalah tree itu sendiri. Martin Buber menggambarkan tree tersebut dengan bagian-bagian serta lingkungan yang dapat mendukungnya menjadi thou bagi I itu sendiri. Bagaimanapun kondisi serta situasinya ia tetap akan menyukai tree tersebut selama ia masih merupakan suatu kesatuan dan ia masih tree yang mirip dengan yang ia pikirkan sekarang. Dalam ranah waktu, hubungan I dengan thou ini hanya berlaku untuk sekarang, karena thou bukan merupakan ingatan yang berarti masa lalu dan ia juga bukan merupakan impian yang berarti masa depan, ia adalah suatu relasi yang baik. Jadi relasi antara I dengan thou merupakan suatu kesuksesan kehidupan bagi I dengan thou itu sendiri. Bukan berarti dengan satu relasi tersebut kita berarti telah sukses dalam hidup, akan tetapi hal ini menggambarkan bahwa kehidupan adalah suatu relasi, baik relasi kita dengan alam, manusia, maupun hal-hal spiritual.
Relasi I dan thou dapat diperoleh dengan saling mempercayai dan memberkati satu sama lain. Ada suatu tingkatan spesial pada kedua hal tersebut dimana ia merubah it menjadi thou. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya keindahan dari thou tersebut, sebuah keindahan yang hanya bisa dilihat oleh I yang membangun relasi dengannya. Seperti contoh pada tree tadi, subjek biasa hanya akan memandang pohon tersebut sebagai benda biasa saja, tidak ada kesan yang menyentuh hati darinya, sedangkan subjek yang telah membangun relasi dengannya akan memandang tree tersebut dengan sudut pandang estetis tinggi yang rasanya harus sangat ia jaga dan ia hargai. Hal tersebut tidak berlaku hanya pada penampilan luarnya saja, melainkan bagaimana ia berkolaborasi dengan alam atau lingkungannya, kepribadiannya (untuk manusia atau hewan), dan segala hal yang tetap memberikan keutuhan pada dirinya.
Jadi, tree yang digambarkan sebagai thou ini adalah sesuatu yang spesial bagi subjek yang membangun relasi dengannya. Tree tersebut memiliki nilai estetis yang tinggi baginya dan ia menjadi bagian dari diri subjek tersebut. Tree sebagai thou disini ialah sepenuhnya tree itu sendiri, tidak ada suatu bagian dari dirinya yang menyakitkan atau dihindari subjek tersebut untuk membangun relasi dengannya. Kebahagiaannya (subjek) adalah kebahagiaan thou itu juga, kesedihannya adalah kesedihan thou itu juga, dan begitu pula dengan sebaliknya selama mereka masih menjalin relasi I-thou tersebut, maksud ‘masih’ disini berarti saat ini juga, bukan masa depan ataupun masa lalu. Sehingga, relasi I-thou yang digambarkan pada seorang manusia dan sebatang pohon tersebut adalah bentuk pengeksisan diri dimana hal tersebut merupakan tujuan utama manusia pada umumnya, yaitu kebahagiaan.

Catatan dari Bawah Tanah, Fyodor Dostoyevski




Catatan dari Bawah Tanah
Sisi Eksistensialisme The Underground Man:
“Kesadaran yang mana pun juga, sebetulnya suatu penyakit”, sebuah pernyataan yang membandingkan suatu penyakit itu sendiri dengan sebuah kesadaran. Penyakit, pada dasarnya memberikan kesadaran lebih baik karena rasa sakit itu sendiri daripada ketika manusia tidak sedang menderita sakit apapun. The Underground Man juga menyatakan dirinya ingin menjadi serangga, entah agar ia dapat menerima lebih banyak rasa sakit karena serangga pada dasarnya memang sering disakiti, atau karena ia menyatakan bahwa hewan memiliki kesadaran yang amat rendah sehingga rasa sakit itupun tidak berpengaruh besar pada kesadaran mereka. Makin tinggi kesadaran seseorang maka ia akan makin sanggup untuk merasakan yang “baik dan indah”. Rasa atau pengetahuan ini dapat menimbulkan perasaan mampu melakukan perbuatan buruk yang merupakan kontra dari pengetahuan baik dan indah tersebut, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga timbul perasaan bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh terjadi. Sehingga makin sadar diri seseorang, ia juga akan makin menderita karena rasa sakit yang ditimbulkan ooleh pengetahuan akan yang baik dan indah tersebut. Di dalam yang baik dan indah itu juga terdapat suatu pengetahuan bahwa segala hal yang terjadi bukanlah sesuatu yang kebetulan, sehingga rasa untuk melawan penyakit/cacat itu hilang sama sekali. The Underground Man juga menyatakan bahwa di dalam penderitaannya atas rasa sakit itu ia juga menikmati semacam kenikmatan aneh dan penuh rahasia. Ia menggambarkan suatu perbuatan buruk yang senang dilakukannya padahal ia tahu itu buruk dan menjijikan bagi dirinya sendiri, dan hal tersebut tidak bisa ia halangi keterjadiannya karena ia telah mencapai titik maksimal dari usahanya bagi dirinya sendiri untuk mencegahnya. Hal ini menggambarkan sebuah ketetapan hukum alam yang tidak bisa dicegah olehnya, dan akhirnya ia nikmati penderitaan itu karena ia tahu tidak ada jalan keluar dari kesadaran kejatuhan dirinya sendiri yang sangat dalam itu. dapat disimpulkan bahwa menurutnya kita dapat memperoleh kenikmatan dari keputusasaan yang terkandung kenikmatan-kenikmatan yang paling dalam, terutama kalau kita sadar sekali bahwa keadaan kita tidak bisa tertolong lagi. Setiap penderitaan, jelasnya lagi, akan menimbulkan rasa dendam, ia menggambarkan bahwa setiap dendam itu sebenarnya tertuju pada dendam terhadap hukum alam. Baik orang yang memberi penderitaan maupun yang mendendam, itu semua merupakan hukum alam yang memang harus terjadi.
“Erangan ini (sakit gigi) mengutarakan kesadaran bahwa Anda tak punya musuh yang harus Anda hukum”. Dalam contoh mengenai sakit gigi ini, ia menggambarakan bahwa sebagaimanapun kita kesalnya, menginginkan gigi ini berhenti untuk sakit baik dari keinginan dari diri sendiri maupun dari orang lain, gigi tersebut akan tetap menyakiti kita sebagai suatu ketetapan dari hukum alam yang harus terjadi. Dalam erangan-erangan tak berguna yang tetap akan kita lakukan itu, akan membawa kita pada pengakuan dan kerendahan yang di dalamnya terkandung nikmat paling lezat. Hal ini merupakan sebuah bentuk interaksi pada orang lain dimana kita meminta-minta banyak perhatian ataupun pertolongan orang lain tanpa kita merasa malu dengannya karena telah ditutupi oleh rasa sakit tersebut. Dengan kata lain, ia puas telah dapat memberi tahu setiap orang segala hal yang ia rasakan, walaupun segala hal tersebut adalah rasa sakit yang menyentak-nyentak.
“Akal tidak lebih dari akal dan hanya dapat memenuhi kebutuhan aspek rasional sifat manusia, sedangkan kemauan adalah penjelmaan seluruh kehidupan.” Ia memberi contoh pada kehidupan yang bisa diketahui sebab akibatnya bagaikan operasi matematika. Pada akhirnya hal ini dapat menimbulkan hilangnya kebebasan manusia karena ia telah mengetahui segala resiko, segala akibat (dengan rinci) yang akan ia tanggung setiap melakukan suatu perbuatan. Menurutnya juga, jika ada aturan seperti itu manusia malah akan mencoba akibat sebaliknya dari sebab yang ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya masih memiliki kebebasan. Dengan kata lain hal ini tidak mungkin, karena menurutnya pilihan bebas adalah keuntungan yang paling menguntungkan bagi setiap manusia, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan manapun seperti golongan-golongan lain yang bersifat matematis. Dengan kata lain, akal tidak dapat menguraikan semua aspek yang terjadi pada manusia dari segala akibat dari segala sebab yang dilakukannya tersebut. Akal hanya mengetahui apa yang berhasil dipelajarinya (ada hal-hal tertentu yang tak bisa dipelajari, yang berarti The Underground Man ini juga mempercayai hal-hal mistis yang memang tak bisa dijangkau manusia), sedangkan fitrah manusia bertindak secara keseluruhan, dengan segala hal yang terkandung di dalamnya, sadar atau tidak sadar, peduli atau tidak peduli, hal-hal tersebut akan tetap ada. Akan tetapi tentu, untuk hal-hal mudah dan umum seperti manusia yang terpelajar akan menjadi manusia yang sukses di masa depan dibanding yang tidak masih bisa dibuktikan secara matematik.
“Karena sifatnya yang tidak kenal terima kasih, rasa kesal, manusia masih akan mengakali kita.” Sebuah pernyataan mengenai penggambaran kebutuhan manusia yang paling utama yang disampaikan dengan baik sekali oleh The Underground Man atau dari pemikiran Fyodor Dostoyefsky. Ia memberi contoh bahwa sebagaimanapun manusia terlengkapi kebutuhannya, seperti memiliki kesejahteraan ekonomi, tenggelam dalam laut kebahagiaan, sebegitu rupa hingga ia tak perlu mengerjakan apa-apa kecuali tidur, makan kue, dan menyibukkan diri dengan melanjutkan keturunannya, tapi biarpun begitu manusia tetap tidak akan bahagia hingga ia mendapatkan kebebasannya. “Ia bahkan bersedia mengorbankan kuenya dan dengan sengaja menginginkan sampah yang paling tidak ekonomis, hanya untuk memasukkan unsur fantastisnya yang fatal ke dalam rasa baik yang positif ini.” Hal ini membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang sebenarnya tidak tahan dikuasai, bahkan walaupun ia tetap patuh dalam kekuasaan atas sesuatu tersebut, maka ia akan menjalankannya dengan terpaksa atau ia menjalankannya karena itu adalah pilihan dari kebebasannya sendiri. Darisini kita dapat melihat bahwa manusia akan mematahkan kebahagiaannya demi membuktikan kebenarannya. Ia akan melakukan hal-hal yang konyol dengan sengaja, bahkan kejahatan-kejahatan yang semata karena sifatnya yang tidak mengenal terima kasih, dan lagi hanya untuk membuktikan kebenarannya.
“Aku sependapat bahwa manusia ialah pertama-tama hewan kreatif, yang diciptakan untuk berusaha secara sadar mencapai sesuatu obyek dan melibatkan diri dengan pertukangan—artinya, tak putus-putusnya, dari dulu sampai nanti membuat jalan-jalan baru, kemana pun jalan-jalan ini mengarah.” Dalam pemikirannya yang satu ini, The Underground Man berpendapat bahwa manusia lebih mementingkan usahanya dibanding dengan hasilnya. Manusia boleh saja ambisius untuk mencapai hasilnya, akan tetapi pada akhirnya manusia sadar bahwa ia tidak begitu menginginkan hasilnya dan ingin terus dalam proses usaha itu sendiri. Dalam penjelasan ini, The Underground Man mencoba menjelaskan mengapa manusia menyukai perusakan dan kekacauan. Karena menurutnya “secara naluri ia takut mencapai sasarannya dan menyelesaikan bangunan yang sedang ia kerjakan”, karena siapa tahu dari jauh seseorang begitu mendambakan tujuannya dan ternyata setelah dilihat dan dirasakan dari dekat, dia tidak begitu menyukainya. Sama seperti pernyataannya berikut: ”manusia takut pada kepastian matematik, kita akui bahwa yang tak putus-putusnya dicari manusia ialah kepastian matematis,.., tapi aku yakin ia takut akan berhasil. Ia merasa bahwa jika ia sampai memperolehnya maka tidak tidak akan ada lagi yang tersisa baginya untuk dicari.” Inti dari pemikiran eksistensi bagian ini adalah manusia menjadi eksis pada proses pengusahaannya, dan ia sebetulnya tidak senang kalau yang ia usahakan itu berhasil, tentu saja ketidaksenangan tersebut dirasakan setelah manusia mengerti esensi dari tujuannya tersebut, sehingga “Penderitaan ialah sumber kesadaran satu-satunya.”
“Engkau membanggakan kesadaran, tetapi kau tidak pasti tentang pendapatmu karena biarpun otakmu bekerja, hatimu gelap dan busuk, sedangkan kesadaran yang penuh dan murni tidak bisa dimiliki tanpa hati yang bersih.” Tentu saja, dalam pertanyataan ini The Underground Man memposisikan kesadaran sebagai sesuatu yang membahagiakan, sehingga dalam pernyataan sebelumnya yang dimaksud dengan penderitaan tersebut tidak bertentangan dengan kebahagiaan. Inti pemikirannya adalah penderitaan bisa dijadikan kenikmatan atau kelezatan aneh yang tidak bisa dicampur-baurkan dengan kejahatan karena orang yang jahat, dusta, dsb, tidak akan pernah bisa menikmati esensi dari penderitaan, lalu juga penderitaan merupakan bahan pembentuk kebahagiaan, walaupun ia sama sekali tidak menyebutkan sepatah katapun tentang kebahagiaan, tapi itulah inti pemikirannya dari penalaran saya pribadi. Dan lagi, The Underground Man memiliki kecenderungan untuk tidak terikat pada apapun, bukan karena ia tak ingin terikat, tapi karena ia tahu apa yang jadi resikonya, jadi memang seperti yang ia katakan, ia pintar, ia tahu ia pintar, dan itu tidak begitu menguntungkannya.