Blogger Widgets

Senin, 21 November 2011

Tuhan, Manusia, dan Eskatologi

A. Tuhan Sebagai Personal atau Impersonal
Tuhan adalah hal paling penting dalam ajaran setiap agama dan masalah paling pokok dalam filsafat. Setiap agama tidak dapat disebut sebaga ‘agama’ apabila ia tidak memiliki Tuhan untuk disembah. Begitu juga dengan filsafat, yang dimana hal ini merupakan permasalahan terbesar di dalamnya.
Sebagian filsuf Yunani banyak yang meributkan konsep-konsep alam sehingga tanpa mereka sadari merujuk pada konsep Tuhan juga. Sedangkan Plato dan Aristoteles, telah mengemukakan pendapat yang sudah sampai memikirkan sesuatu realitas di luar alam. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan telah tergambar dengan baik sehingga menjadi akar pemikiran filsuf-filsuf selanjutnya. Dari Plato sendiri menamakannya dengan Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak. Walaupun para filsuf telah mampu mengetahui realitas tertinggi dari semua wujud, realitas itu belum sampai kepada konsep utuh yang diinginkan oleh agama karena Tuhan dalam filsafat masih bersifat impersonal, bukan Tuhan sebagai personal.
Pada prinsipnya, Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal dapat dibedakan dalam berbagai segi, yaitu :
1. Tuhan personal menekankan pada identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud pengabdian makhluk kepada penciptanya. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak disembah dan dipuja.
2. Tuhan personal berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuhan impersonal berasal dari kesimpulan pemikiran manusia. Karena itu, Tuhan dalam agama adalah Zat Pencipta dan sekaligus Pemelihara alam. Sedangkan dalam filsafat, Tuhan hanya sebagai Sebab Awal dan tujuan segala wujud.
3. Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makhluk. Perbedaan itu terletak pada sifat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Adil. Karena perbedaan yang begitu besar, makhluk, terutama manusia mempunyai kewajiban untuk mengadakan hubungan baik dengan Tuhan agar sifat-sifat yang begitu baik bisa tersalurkan dalam diri mereka. Hubungan itu dilakukan dengan memperbanyak ibadah dan ritual-ritual keagamaan. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan hubungan baik dengan Tuhan itu sebab Tuhan adalah hasil ide manusia saja atau sebuah Zat yang dimensinya terputus oleh dimensi makhlukNya.
4. Tuhan personal menonjolkan perbedaan antara makhluk dengan Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan dalam Tuhan yang impersonal berusaha atau tidak memperdulikan perbedaan tersebut dengan menganggap manusia sebagai bagian dari diriNya, bahkan dalam panteisme misalnya, perbedaan antara Tuhan dan makhluk hilang sama sekali.
Pada kenyataannya agama memang bukan filsafat, tetapi menurut Gilson, ajaran agama mengajukan prinsip-prinsip yang kaya akan prinsip-prinsip filsafat. Karena itu, ia dapat membantu perncarian akal terhadap Tuhan. Arogansi akal untuk dapat secara mandiri menemukan Tuhan tanpa sinaran wahyu, adalah sesuatu yang naïf. Dan hal itu telah terbukti dalam pencarian para filsuf Yunani, bahkan ketika Descartes berusaha memisahkan filsafat dari agama.
Terhadap juga gugatan yang sering dimunculkan para saintis, Gilson menilai pernyataan semacam itu muncul karena ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa agama dan filsafat (juga sains) adalah dua lanskap yang seharusnya dapat bertemu. Karena sains menjawab pertanyaan tentang bagaimana, sedangkan agama menjawab tentang mengapa. Hanya saja tidak banyak orang yang berani mengakuinya. Para sains atau filsuf kontemporer yang terpikat oleh daya pesona rasio telah kehilangan selera terhadap metafisika dan agama. Sementara yang lain, karena terlalu khusuk dalam berkontemplasi menyadari bahwa metafisika dan agama seharusnya dapat dipertemukan tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana. Karena itu ada yang kemudian memisahkan agama dari filsafat, atau meninggalkan agama demi fisafat atau sebaliknya. Padahal hal tersebut, dalam pandangan Gilnson tidak perlu terjadi. Dan menurutnya orang yang dapat melakukan hal itu adalah mereka yang dapat menyatukan bahwa Tuhan filosof adalah Tuhan yang juga dipeluk oleh Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.



B. Kekuasaan Mutlak Tuhan dengan Kebebasan Manusia.
Terdapat dua konsep ekstrem yang menyatakan hubungan Tuhan dan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat, yang dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut predestination (fatalisme). Lalu konsep kedua yang mengatakan bahwa perbuatan manusia kebebasannya sendiri, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat/daya kebebasan itu pada manusia. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut dengan free will.
Baik dalam paham predestination ataupun free will, hampir terdapat di semua agama dan memunculkan persoalan yang selalu dibahas oleh para teolog dan filsuf. Berbagai cara dicari untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun belum ada hasil yang benar-benar memuaskan semua pihak. Dalam teologi Islam terdapat beberapa golongan yang membahas persoalan tersebut seperti Mu’tazilah, Asya’ariah, dan Maturidiah.
Golongan Mu’tazilah pada dasarnya lebih dekat pada paham Qadariah. Al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah, berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan. Pendapat yang sama juga dikemukakan ‘Abd jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah ciptaan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan dihasilkan dari daya yang bersifat baru, yang sebenarnya bukan perbuatan tuhan. Sehingga Manusia adalah makhluk yang bebas untuk memilih.
Berbeda dengan golongan Mu’tazilah, golongan Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, hanya saja manusia memiliki kemampuan yang disebut kasb (perolehan). Kasb adalah sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan bagi seseorang yang dengan daya itu perbuatannya timbul. Kasb itu sendiri adalah ciptaan Tuhan, sehingga menghilangkan arti keaktifan itu sendiri.
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran Maturidiah terpisah menjadi dua aliran, yaitu Maturidiyah Samarqand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terdapat kekuasaan mutlak Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarqand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada larangan bagi Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya tidak ada suatu dzat pun yang lebih berkuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya tampaknya aliran Maturidiyah Samarqand lebih dekat dengan Asy`ariyah Al-Bazdaqi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan cosmos. Tuhan berbuat sekedendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain. Konsep lain keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

C. Hidup Sesudah Mati
Keadaan sesudah mati adalah misteri di atas misteri karena kematian adalah faktayang setiap manusia akan mengalaminya dan tidak dapat mengetahui (bagi subyek yang berusaha memisahkan diri dari obyek sehingga belum pernah mengalaminya) apa yang terjadi setelahnya.
Misteri mati ini pulalah yang menyibukkan para pemikir mengungkapkan beberapa teori tentang kematian dan implikasinya. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis mengatakan bahwa yang paling ditakuti oleh manusia adalah kematian. Karena kematian itu tidak dapat ditolak, dia mencari perlindungan kepada hal yang bersifat supernatural, yaitu Tuhan. Tuhan adalah imajinasi dia sendiri yang seakan-akan dapat membantu menyelesaikan misteri yang paling ditakutinya. Jadi, menurut Freud manusia yang percaya kepada Tuhan adalah manusia yang lemah dan butuh perlindungan kepada zat yang lebih besar.
Sattre, seorang tokoh eksistensialis yang sangat menegaskan kebebasan manusia, akhirnya dia mengakui bahwa manusia tidak bebas lagi ketika menghadapi kematian. Bagi Settre, maut adalah sesuatu yang absurd karena kenyataan bahwa maut tidak bisa ditunggu, melainkan hanya bisa diharapkan akan datang. Tetapi, kapan datangnya maut tidak ada yang dapat memastikannya. Kita tidak memiliki pilihan lain lagi, maut adalah kepastian, yaitu nistanya kita sebagai eksistensi. Dengan kematian, eksistensi berakhir dan kita kembali ke esensi, kata Sattre.
Agama tanpa ada doktrin hidup sesudah mati bagaikan bergantung tali, karena kepercayaan kepada akhirat itu merupakan pegangan dan sekaligus faktor yang mendorong pemeluk agama taat beribadat, berakhlak mulia, dan menjalankan semua perintah Tuhan. Kalau memang kita berbuat baik hanya mengharapkan hasilnya di dunia, seseorang tidak perlu mempercayai adanya akhirat. Akan tetapi setiap manusia sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil di dunia sehingga keadaan yang demikian mendorong manusia untuk mencari keadilan ‘sempurna’, sesuatu yang hanya bisa didapatkan di dunia yang ‘sempurna’ juga’.
Dalam filsafat Islam perbincangan tentang eskatologi menjadi sebuah bidang tersendiri sebagai refleksi pengungkapan dimensi-dimensi metafisis dan ketuhanan yang berlandaskan pada ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’ān. Walaupun demikian pembahasan tentang eskatologi ini mengundang perdebatan yang sangat krusial di antara para pemikir Islam, filsuf, dan lain sebagainya. Seperti Imam al-Ghazali yang cenderung mengkafirkan para filsuf yang diwakili oleh al-Farabi dan Ibn Sina karena tiga sebab yang salah satunya adalah persoalan eskatologis.
Salah satu contoh filsuf islam, Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan jasad, tetapi jiwa itu bersifat kekal. Ia juga berpendapat bahwa sesuatu yang dirusak dikarenakan oleh faktor lain maka sudah sepatutnya juga ia bergantung padanya. Namun, jiwa terpisah wujudnya dari jasad karena tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh, sedangkan jiwa telah ditetapkan sebagai esensi yang berdiri sendiri. Jiwa juga tidak mendahului jasad karena kalau kiwa mendahuluinya terkesan jasad yang menyebabkan jiwa, dan jiwa seakan-akan ada untuk mengabdi pada jasad. Jadi, dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan kausalitas. Hubungan jasad dengan jiwa menurut Ibn Sina bukan hubungan korelatif atau keharusan, melainkan hubungan tuan dengan hambanya atau antara pemilik dengan miliknya. Pemilik tidak akan terpengaruh walaupun miliknya berubah. Jiwa adalah yang memerintah dan jasad yang diperintah, bukan kebalikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar